Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah dua kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.
Gunung ini memiliki kawah
ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang
beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan
terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.
Kini G. Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.
Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.
Daftar isi
Vulkanologi dan geologi
G. Careme di awal abad ke-20. Foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam.
Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato.
Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar
Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur
(yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.
Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah
suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai
lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma
generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera
Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G.
Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang
diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang
1991).
Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi
tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan
terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah
pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap
belerang serta tembusan fumarola
baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni
1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah
radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar
(Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa
tektonik yang melanda daerah barat daya G. Ciremai, yang diduga
berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian
gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah
barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa
hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.
Jalur pendakian
Puncak
gunung Ceremai dapat dicapai melalui banyak jalur pendakian. Jalur
pendakian tersebut meliputi Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kab.
Kuningan, dan Desa Apuy di Kab. Majalengka. Ada satu jalur pendakian
baru yaitu melalui Desa Linggasana di Kec. Cilimus, Kab. Kuningan. Jalur
di Desa Linggasana yang dibuka tahun 2010 juga mudah diakses karena
masih satu trayek jalan raya dengan jalur di Desa Linggarjati. Jalur
pendakian lain ialah melalui Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan
dengan Majalengka di utara. Di kota Kuningan terdapat kelompok pecinta
alam "AKAR" (Anak Kuningan Alam Rimba) yang dapat membantu menyediakan
berbagai informasi dan pemanduan mengenai pendakian Gunung Ceremai.
Keanekaragaman hayati
Vegetasi
Hutan-hutan
yang masih alami di Gunung Ceremai tinggal lagi di bagian atas. Di
sebelah bawah, terutama di wilayah yang pada masa lalu dikelola sebagai
kawasan hutan produksi Perum Perhutani, hutan-hutan ini telah diubah menjadi hutan pinus (Pinus merkusii), atau semak belukar,
yang terbentuk akibat kebakaran berulang-ulang dan penggembalaan. Kini,
sebagian besar hutan-hutan di bawah ketinggian … m dpl. dikelola dalam
bentuk wanatani (agroforest) oleh masyarakat setempat.
Sebagaimana lazimnya di pegunungan di Jawa, semakin seseorang mendaki
ke atas di Gunung Ciremai ini dijumpai berturut-turut tipe-tipe hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan subalpin (subalpine forest), dan kemudian wilayah-wilayah terbuka tak berpohon di sekitar puncak dan kawah.
Lebih jauh, berdasarkan keadaan iklim mikronya, LIPI (2001)
membedakan lingkungan Ciremai atas dataran tinggi basah dan dataran
tinggi kering. Sebagai contoh, hutan di wilayah Resort Cigugur (jalur
Palutungan, bagian selatan gunung) termasuk beriklim mikro basah, dan di
Resort Setianegara (sebelah utara jalur Linggarjati) beriklim mikro
kering.
Secara umum, jalur-jalur pendakian Palutungan (di bagian selatan
Gunung Ciremai), Apuy (barat), Linggasana dan Linggarjati (timur)
berturut-turut dari bawah ke atas akan melalui lahan-lahan permukiman,
ladang dan kebun milik penduduk, hutan tanaman pinus bercampur dengan
ladang garapan dalam wilayah hutan (tumpangsari),
dan terakhir hutan hujan pegunungan. Sedangkan di jalur Padabeunghar
(utara) vegetasi itu ditambah dengan semak belukar yang berasosiasi
dengan padang ilalang. Pada keempat jalur pendakian, hutan hujan
pegunungannya dapat dibedakan lagi atas tiga tipe yaitu hutan pegunungan
bawah, hutan pegunungan atas dan vegetasi subalpin di sekitar kawah.
Kecuali vegetasi subalpin yang diduga telah terganggu oleh kebakaran,
hutan-hutan hujan pegunungan ini kondisinya masih relatif utuh, hijau
dan menampakkan stratifikasi tajuk yang cukup jelas.
Margasatwa
Keanekaragaman satwa di Ceremai cukup tinggi. Penelitian kelompok pecinta alam Lawalata IPB di bulan April 2005 mendapatkan 12 spesies amfibia (kodok dan katak), berbagai jenis reptil seperti bunglon, cecak, kadal dan ular, lebih dari 95 spesies burung, dan lebih dari 20 spesies mamalia.
Beberapa jenis satwa itu, di antaranya:
-
- Bangkong bertanduk (Megophrys montana)
- Percil Jawa (Microhyla achatina)
- Kongkang Jangkrik (Rana Nicobariensis)
- Kongkang kolam (Rana chalconota)
- Katak-pohon Emas (Philautus aurifasciatus)
- Bunglon Hutan (Gonocephalus chamaeleontinus)
- Cecak Batu (Cyrtodactylus sp.)
- Elang Hitam (Ictinaetus malayensis)
- Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)
- Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
- Puyuh-gonggong Jawa (Arborophila javanica)
- Walet Gunung (Collocalia vulcanorum) [masih perlu dikonfirmasi]
- Takur Bultok (Megalaima lineata)
- Takur Tulung-tumpuk (Megalaima javensis)
- Berencet Kerdil (Pnoepyga pusilla)
- Anis Gunung (Turdus poliochepalus)
- Tesia Jawa (Tesia superciliaris)
- Ceret Gunung (Cettia vulcania)
- Kipasan Ekor-merah (Rhipidura phoenicura)
- Burung-madu Gunung (Aethopyga eximia)
- Burung-madu Jawa (Aethopyga mystacalis)
- Kacamata Gunung (Zosterops montanus)
- Trenggiling biasa (Manis javanica)
- Tupai kekes (Tupaia javanica)
- Kukang (Nycticebus coucang)
- Surili jawa (Presbytis comata)
- Lutung budeng (Trachypithecus auratus)
- Ajag (Cuon alpinus)
- Telegu (Mydaus javanensis)
- Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis)
- Macan Tutul (Panthera pardus)
- Kancil (Tragulus javanicus)
- Kijang (Muntiacus muntjak)
- Jelarang Hitam (Ratufa bicolor)
- Landak Jawa (Hystrix javanica)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar